“Bu Lita, saya skip ikut RUPS-LB ini karena ternyata Direksi mengumumkan rencana RUPS-LB hanya lewat pengumuman koran, gak ke alamat rumah saya. Ini sah gak sih Bu?”
Dalam suatu perusahaan, pengambilan keputusan RUPS dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a) Pernyataan Keputusan Rapat (PKR)
b) Sirkuler
c) Rapat
Berbeda dengan PKR dan Sirkuler yang tidak mewajibkan adanya pemanggilan rapat, pelaksanaan pengambilan keputusan dengan metode rapat wajib didahului dengan pemanggilan dengan “Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar” (Pasal 82 ayat (2) UUPT).
Hal yang perlu kita kaji disni adalah kata makna kata “dan/atau” dalam Pasal 82 ayat (2) UUPT, bagaimana istilah tersebut ditafsirkan? Merujuk pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam artikel berjudul “Penggunaan dan/atau” dipahami bahwa kata “dan/atau” merupakan kata penghubung yang dapat ditafsirkan sebagai sebagai pilihan untuk mengakumulasi pilihan atau mensubstitusikan pilihan. Tanda garis miring mengandung makna “memberikan pilihan” . Dengan demikian, apabila ada kata “X dan/atau Y”, maka terdapat 3 pilihan yang dapat diambil, yaitu:
a) X bersama-sama dengan Y = akumulasi X dan Y
b) X atau Y = X dan Y saling mensubstitusi.
Lebih lanjut, apabila kita impementasikan makna kata “dan/atau” terhadap kewajiban Direksi untuk menyampaikan pemanggilan RUPS, maka dapat kita simpulkan, Direksi dapat melakukan pemanggilan dengan 3 (tiga) cara yaitu:
(1) Pengiriman Surat Tercatat saja, atau
(2) Iklan pada Surat Kabar saja, atau
(3) Dilakukan dengan Surat Tercatat dan juga iklan Surat Kabar.
Pembatasan atas pilihan Direksi tersebut dapat diatur dalam Anggaran Dasar (AD) Perusahaan. Misalnya: AD mengatur pemanggilan rapat utamanya harus dilakukan melalui Surat Tercatat, adapun pemanggilan melalui Surat Kabar bersifat tambahan saja apabila hal tersebut diperlukan.
Pengaturan mengenai pemanggilan sangat penting guna melindungi kepentingan pemegang saham dari pemanggilan RUPS yang mungkin menurut pemegang saham diluar kontrol-nya, terutama apabila pemegang saham merupakan perorangan/badan hukum asing yang tidak secara day-t0-day basis mengikuti perkembangan surat kabar di Indonesia. Hal ini sebagaimana tercermin dalam sengketa antara Bali Bias Putih Korea Co.Ltd (BBP Korea) vs Kuk Bong Yi dkk yang telah diadili melalui putusan PN AMLAPURA No. 75/Pdt.G/2011/PN.Ap. yang kemudian dikuatkan melalui putusan banding No. 156/Pdt/2012/PT.Dps serta putusan kasasi No.2000 K/Pdt/2013.
Inti dari kasus tersebut adalah, BBP Korea selaku pemegang saham PT Bali Bias Putih (PT BBP) mengajukan gugatan ke pengadilan negeri atas tindakan Kuk Bong Yi dkk yang merupakan Direksi sekaligus pemegang saham dalam PT BBP yang tidak melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa (RUPS-LB) melalui Surat Tercatat ke BBP Korea. Adapun Kuk Bong Yi dkk hanya melakukan pemanggilan atas pelaksanaan 2 dua RUPS-LB melalui satu Surat Kabar berperedaran nasional berbahasa Indonesia. BBP Korea berpendapat tindakan yang diambil Kuk Bong Yi, dkk tersebut merupakan bentuk itikad tidak baik yang pada akhirnya merugikan BBP Korea. Kerugian yang dimaksud salah satunya BBP Korea menjadi tidak dapat hadir dan memberikan suara atas:
1)Pemilihan Direksi dan Dewan Komisaris, sehingga BBP Korea kehilangan kesempatan memilih calon yang kompeten untuk mengelola PT BPP
2)Melakukan evaluasi atas kinerja Direksi dan Dewan Komisaris.
Atas kerugian tersebut BBP Korea meminta pembatalan keputusan RUPS yang telah diambil dan ganti rugi materiil.
Adapun dalam mengadili kasus tersebut, pengadilan menolak permohonan BBP Korea untuk seluruhnya dan menyatakan pemanggilan dan/atau keputusan RUPS yang telah diambil tanpa kehadiran BBP adalah sah. Alasan penolakan Korea karena telah sesuai Pasal 82 ayat (2) UUPT yang memberikan opsi pada Direksi melakukan pemanggilan dengan hanya Surat Kabar saja. Boleh jadi, rujukan ke Pasal 82 ayat (2) tanpa mempertimbangkan pengaturan dalam AD PT BBP tersebut dikarenakan AD tidak mengatur secara detail tata cara pemanggilan dan hanya bersandar pada UUPT saja.
Menanggapi putusan tersebut, saya pribadi berpendapat putusan tersebut telah tepat karena pada dasarnya pengadilan tidak boleh membentuk penafsiran baru terhadap terlalu jauh kata “dan/atau” dalam Pasal 82 ayat (2) UUPT. Sikap pengadilan yang menggunakan penafsiran gramatikal merupakan satu cara yang tepat untuk menjamin kepastian hukum untuk insan bisnis. Adapun upaya menjaga kepastian hukum ini tidak serta merta mengorbankan kepentingan investor atau pemegang saham tertentu. Hal ini dikarenakan para pemegang saham sebenarnya dapat pula memberikan kepastian atas dirinya sendiri dengan mengatur lebih detail mengenai mekanisme pemanggilan dalam AD.
Dasar Hukum:
- UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
- Putusan Pengadilan Negeri AMLAPURA No. 75/Pdt.G/2011/PN.Ap
- Putusan Pengadilan Negeri DENPASAR No. 156/Pdt/2012/PT.Dps
- Putusan Mahkamah Agung No.2000 K/Pdt/2013.
Demikian, semoga bermanfaat!